Menurut PBB, diskriminasi
diartikan sebagai “diskriminasi mencakup perilaku apa saja, yang berdasarkan
perbedaan yang dibuat berdasarkan alamiah atau pengkategorian masyarakat, yang
tidak ada hubungannya dengan kemampuan individu atau jasanya”.
Sedangkan Theodorson &
Theodorson (1979:115-116) mengartikan diskriminasi sebagai “…adalah perlakuan
yang tidak seimbang terhadap perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu,
biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan
ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial”.
Pengertian kedua definisi
tersebut tidak jauh berbeda. Bahwa di sana ada membedakan tindakan berdasarkan
atribut-atribut tertentu. Definisi tersebut juga menyiratkan bahwa diskriminasi
bukanlah monopoli kaum dominan dan mayoritas terhadap kaum subordinat dan
minoritas. Diskriminasi dapat dilakukan oleh siapa saja kepada siapapun juga.
2. Problematika
Diskriminasi dalam Masyarakat yang Beragam
Diskriminasi megakibatkan
pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau
penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan, baik
individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya
dan aspek kehidupan lainnya.
Seperti yang telah ditegaskan
dalam pasal 281 ayat 2 UUD NKRI 1945 bahwa “Setiap orang berhak bebas dari
perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan
yang bersifat diskriminatif itu”. Sangat
jelas sekali bahwa setiap orang mendapat perlindungan saat dia mendapat
perlakuan diskriminasi. Meskipun begitu diskriminasi masih terjadi diberbagai
belahan dunia, dan prinsip non diskriminasi harus mengawali kesepakatan antar
bangsa untuk dapat hidup dalam kebebasan, keadilan, dan perdamaian.
Pada dasarnya diskriminasi tidak
terjadi begitu saja, akan tetapi karena adanya beberapa faktor, antara lain:
a. Adanya
persaingan yang semakin ketat dalam berbagai bidang kehidupan.
b. Adanya
tekanan dan intimidasi yang biasanya dilakukan oleh kelompok yang dominan
terhadap kelompok atau golongan yang lebih lemah.
c. Ketidak
berdayaan golongan miskin akan intimidasi yang mereka dapatkan membuat mereka
terus terpuruk dan menjadi korban diskriminasi.
Setiap bangsa di dunia dalam
hidup bermasyarakat,berbangsa dan bernegara senantiasa memiliki suau pandangan
hidup,filsafat hidup,dan pegangan hidup agar tidak terombang-ambing dalam
kancah pergaulan masyarakat Internasional.
Manusia memiliki seperangkat hak
yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Hal ini disebut Hak Asasi
Manusia. Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila
tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi
manusia.
3.
Macam
Diskriminasi yang Terjadi dalam Keragaman
Macam – macam diskriminasi dalam
keragaman masyarakat antara lain diskriminasi terhadap:
·
Suku,bangsa,
ras dan gender
·
Agama dan
keyakinan
·
Ideologi
dan politik
·
Adat dan
Kesopanan
·
Kesenjangan
ekonomi
·
Kesenjangan
sosial
Proses terjadinya pelapisan
sosial ada dua,yaitu :
·
Pelapisan
sosial yang tejadi dengan sendirinya. Adapun orang-orang yang menduduki lapisan
tertentu dibentuk bukan karena kesenjangan yang disusun sebelumnya oleh
masyarakat itu,melainkan berjalan secara alamiah dengan
sendirinya.Pengakuan-pengakuan terhadap kekuasaan dan wewenang tumbuh dengan
sendirinya.
·
Pelapisan
sosial yang terjadi dengan sengaja ditujukan untuk mengejar tujuan bersama.
Didalam sistem plapisan sosial ditentukan secara jelas dan egas adanya wewenang
dan kekuasaan yang diberikan kepada seseorang.
4.
Upaya
mengurangi diskriminasi dalam keragaman dan kesederajatan
Ada beberapa upaya yag dapat
dilakukan untuk memperkecil masalah yang diakibatkan oleh pengaruh negatif dari
keragaman, yaitu:
1.
Semangat
religius
2.
Semangat
nasionalisme
3.
Semangat
pluralisme
4.
Semangat
humanisme
5.
Dialog
antar-umat beragama
6.
Membangun
suatu pola komunikasi untuk interaksi maupun konfigurasi hubungan antar agama,
media massa dan haronisasi duia.
Keterbukaa, kedewasaan sikap
pemikiran global yang bersifat inklusif, serta kesadaran kebersamaan dalam
mengurangi sejarah, merupakan modal yang sangat menentukan bagi terwujudnya
sebuah bangsa yang Bhineka Tunggal Ika. Menyatu dalam keragaman dna beragam
dalam kesatuan. Segala bentuk kesenjangan didekatkan, segala keanekaragaman
dipandang sebagai kekayaan bangsa, milik bersama. Sikap inilah yang perlu
dikembangkan dalam pola pikir masyarakat untuk menuju masyarakat yang lebih
baik bebas dari segala macam bentuk diskriminasi.
KASUS
Sebagaimana kita ketahui bersama,
pada tahun 1981 telah disahkan konvensi dunia untuk melindungi hak-hak kaum
perempuan. Semua negara yang menandatangani konvensi tersebut berkewajiban
untuk merilis laporan umum mengenai kondisi perempuan di negara secara berkala
kepada PBB. Meski demikian, di era abad ke-21 sekarang, negara-negara Barat,
khususnya AS menerapkan standar ganda terhadap masalah perempuan. Bahkan
pelbagai kasus pelanggaran terhadap hak-hak kaum perempuan di Barat masih saja
terus ditemukan. Padahal selama ini, merekalah yang senantiasa getol
meneriakkan slogan-slogan pembelaan hak-hak kaum perempuan.
Pada tahun 1960, dicetuskanlah UU
"Upah Sama untuk Kerja yang Sama". Tampaknya, UU tersebut membela
kepentingan perempuan. Namun setelah beberapa dekade berlalu, hingga kini masih
kita saksikan bahwa hak-hak perempuan masih diabaikan. Sebagai contoh, sampai
sekarang situasi pasar kerja masih berlum berubah. Perempuan Barat terpaksa
bekerja 10 hari demi memperoleh gaji yang sebanding dengan 6 hari kerja lelaki.
Selain itu, keamanan kerja kaum perempuan Barat juga masih begitu rendah dan
mereka memiliki peluang naik karier yang sangat terbatas pula. Kini, pekerjaan
di bidang perkantoran merupakan profesi yang paling banyak digeluti perempuan.
Sebagian besar perempuan yang disebut oleh negara sebagai tenaga kerja terampil
adalah para perawat, pekerja sosial, guru sekolah dasar, dan teknisi rumah
sakit. Bukan fisikawan, pengacara, atau profesor universitas.
Saat ini di AS, lelaki memberikan
beban kehidupan keluarga yang sangat besar bagi perempuan. Sebuah hasil riset
menunjukkan, dua dari tiga lelaki AS menginginkan calon istrinya turut berperan
memenuhi kebutuhan keluarga dari penghasilannya yang besarnya sebanding dengan
penghasilan suami. Namun begitu, suami tetap punya hak untuk memanfaatkan penghasilannya
sendiri secara bebas. Sementara, istri terpaksa membelanjakan penghasilannya
untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Mereka juga bertanggung jawab mengurusi
kehidupan sehari-hari anak-anaknya. Tanggung jawab yang tidak hanya mengurusi
pendidikan mereka, tapi juga hal-hal lainnya, seperti makanan, pakaian, dan
tugas sekolah anak-anaknya. Dengan demikian, perempuan di Barat kini tidak
hanya dibebani tanggung jawab di dalam rumah saja, tapi juga dari luar.
Kondisi hak perempuan dan
anak-anak di AS merupakan yang paling tragis. Kasus pelecehan seksual dan
tindak kekerasan terhadap mereka di negeri Paman Sam ini begitu tinggi.
Berdasarkan data polisi federal AS (FBI) tahun 2003, sekitar 94 ribu perempuan
menjadi korban pelecehan seksual. Ironisnya lagi, hingga kini pemerintah AS
belum meratifikasi konvensi perlindungan anak-anak dan perempuan.
Kasus diskriminasi jender juga
terjadi di Inggris. Menurut laporan PBB tahun 2008, kaum perempuan di Inggris
banyak yang menjadi korban kekerasan fisik dan pelecehan seksual. Masih menurut
yang sama, kasus perdagangan perempuan di negara ini masih marak, sementara
tindakan pemerintah London sendiri pun begitu lemah dalam menangani masalah
tersebut. Di kalangan media massa Inggris, perempuan juga kerap hanya dipandang
sebagai alat dan negatif. Kasus hamil diluar nikah dan aborsi merupakan salah
satu kasus pelanggaran hak perempuan. Angka bunuh diri dan pengidap gangguan
mental di kalangan perempuan imigran dan minoritas di Inggris juga mengalami
peningkatan drastis akibat diskriminasi gender.
Jerman merupakan negara Eropa
lainnya yang banyak memiliki kasus pelanggaran terhadap hak perempuan. Hal itu
bisa kita lacak dari hasil penelitian Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi
terhadap Perempuan Tahun 2004. Media-media massa Jerman pun acap kali melihat
perempuan sekedar komoditas seks. Angka pengangguran di kalangan perempuan juga
meningkat. Selain itu, perempuan juga memperoleh standar gaji yang lebih rendah
dan dipekerjakan pada level yang rendah. Laporan komite PBB itu juga
mengungkapkan kekhawatirannya atas maraknya kasus pemanfaatan perempuan sebagai
komoditas seks di Jerman.
Berdasarkan laporan PBB tahun
2006, kasus kekerasan terhadap perempuan dan diskriminasi jender di lingkungan
kerja di Perancis juga sangat mengkhawatirkan. Menurut laporan resmi pemerintah
Perancis, dua per tiga pekerja rendahan seperti pembantu, pelayan restoran dan
hotel merupakan kaum perempuan. Kehadiran perempuan di pos-pos kerja
pemerintahan, internasional, dan komunitas ilmiah Perancis sangat terbatas.
Perbadaan besarnya gaji perempuan dan lelaki rata-rata terpaut 19 persen. Kasus
kekerasan di lingkungan keluarga Perancis juga membuat khawatir Komite PBB
untuk Perlindungan Perempuan. Setiap tahunnya, banyak perempuan Perancis yang
menjadi korban kekerasan suaminya. Selain itu, sebagaimana di negara-negara
Eropa lainnya, kasus hamil di luar nikah dan aborsi di Perancis juga sangat
tinggi. Sepertiga dari jumlah perempuan hamil, merupakan hamil di luar nikah,
dan separuh darinya berakhir dengan aborsi secara suka rela.
Sedangkan di ASIA, berdasar studi
konsorsium yang juga diikuti Pakistan, Iran, China, dan Hongkong ini
menunjukkan terjadinya sejumlah pelanggaran yang telah memgkriminalkan
perempuan. Simposium yang didukung konsorsium Women's Empowerment in Muslim
Contexts (WEMC) ini menyoroti kasus-kasus kekerasan perempuan di Indonesia,
seperti hukuman cambuk yang berlaku di sebuah desa di Sulawesi Selatan, perda
anti-pelacuran yang berlaku di Tangerang dan Bantul serta perda anti-maksiat di
Depok. Selain itu mereka juga menyoroti eksploitasi terhadap pekerja migran
perempuan. Hal ini, menurut mereka, cukup tampak dari biaya-biaya yang cukup
tinggi yang diterapkan oleh PJTKI dan agen-agen perekrut TKW. Sebab itu mereka
berharap pemerintah melakukan peninjauan dan uji material terhadap peraturan
dan kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada kaum perempuan, baik di
tingkat provinsi hingga desa.
PEMBAHASAN
Dimana-mana akan kita temukan
diskriminasi. Melihat beberapa contoh kasus seperti diatas, tindakan
diskriminatif bukanlah dideterminasi oleh rasa dan prasangka semata. Ia
memiliki dan dibangun di atas rasionalitas tertentu. Seandainya kita merujuk
kepada teori tindakan sosial, salah satu premisnya adalah “seseorang akan
mengulangi perbuatannya berdasarkan hasil imbalan dan hukuman yang diperoleh
atau diharapkannya”. Diskriminasi yang mendapat justifikasi potensial (terlebih
aktual) yang diperoleh oleh pelaku tindakan diskriminatif akan menyuburkan dan
menyebabkan pelaku untuk mengulangi tindakan diskriminatif. Berulang dan
berulang. Diskriminasi bukanlah “permainan” rasa suka – tidak suka yang
melibatkan perasaan, tetapi ia adalah “permainan dan pertimbangan”
rasionalitas.
Rasionalitas yang digunakan
adalah rasionalitas instrumental alias cost and benefit calculation. Dalam
rasionalitas jenis ini, semuanya dihitung berdasarkan kalkulasi ekonomis.
Tindakan yang tidak mendapat nilai ekonomis tidak akan mendapat tempat dan
dianggap tidak bermanfaat. Tidak ada logika moral, sosial. Satu-satunya yang
mendapat tempat dan benar adalah yang memenuhi kalkulasi ekonomis. Selama
sebuah tindakan diterima oleh biaya atau manfaat dan tindakan tersebut
mendatangkan manfaat ekonomis, maka selama itu pula tindakan tersebut dapat
diterima dan harus dilaksanakan. Satu-satunya moral, menurut model rasionalitas
jenis ini, adalah moral ekonomis. Rasionalitas ini adalah salah satu penyebab
mengapa perilaku dan tindakan diskriminatif tidak hilang dan peraturan
pemerintah masih belum berjalan semestinya.
Salah satu alasan bahwa rasionalitas masih tetap
bertahan adalah karena isu diskriminasi belum menjadi perhatian dan tanggung
jawab masyarakat. Kalaupun diskriminasi menjadi perhatian, itu hanya sebatas
melahirkan regulasi (pengendalian perilaku sesaat). Tidak ada sosialisasi
sehingga masyarakat tidak mengetahui apa itu diskriminasi. Tidak ada institusi
sosial yang berfungsi melanjutkan dan mengawasi implementasi peraturan.
Penegakan hukum yang sebenarnya diharapkan mampu menjadi agen perubahan moral
tidak berjalan karena tidak didukung oleh sistem dan kepedulian moral akan
pentingnya menghargai Hak-Hak Dasar Individu. Kepedulian moral hanya sebatas
motif egosentrisme “Untung Saya Apa”. “Seandainya tidak ada kepentingan saya,
maka untuk apa saya turut campur”, ini adalah cerminan logika dan moral “Untung
Saya Apa”. Kita belum cukup menghargai dan menghormati hak-hak dasar setiap
individu.
Prasangka dan Diskriminasi Sosial
- 1. Prasangka : Sikap yang negatif terhadap sesuatu. Diskriminasi : Pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara ( berdasarkan warna kulit, golongan, suku, ekonomi, agama, dsb); Etnosentrisme : Sikap atau pandangan yang berpangkal pada masyarakat dan kebudayaan sendiri, biasanya disertai dengan sikap dan pandangan yang meremehkan masyarakat dan kebudayaan lain. Prasangka Diskriminasi Bersumber pada suatu sikap Menunjuk pada suatu sikap Orang yang berprasangka dapat berprilaku negatif.
- 2. Contoh : Cina sebagai kelompok minoritas, sering menjadi sasaran rasial, walaupun secara yuridis telah menjadi warga negara Indonesia dan dalam UUD 1945 Bab X Pasal 27 dinyatakan bahwa semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan.
- 3. Akibat : Apabila muncul suatu sikap berprasangka dan diskriminatif terhadap kelompok sosial lain, atau terhadap suku bangsa , kelompok etnis tertentu, bisa jadi akan menimbulkan pertentangan-pertentangan yang lebih luas. Suatu contoh : Beberapa peristiwa yang semula menyangkut berapa orang saja bisa menjadi luas dan melibatkan sejumlah orang. Kerusuhan Mei 1998
- 4. Praktik Diskriminasi kepada etnis Cina Praktik diskriminasi etnik telah lama dijalankan, utamanya di masa Orde Baru ( Orba)Representasi paling nyata adanya prasangka terhadap minoritas, khususnya etnik China terjadi pada Mei 1998.
- 5. Kerusuhan Mei 1998
- 6. Pernikahan beda etnik Mengenai pernikahan berbeda etnik (contoh :laki-laki Jawa dan perempuan Cina) sebagian besar mengaku tidak mendapat dukungan dari keluarga, malah sebaliknya mendapat kecaman dari keluarga. Hal itu menggambarkan bahwa masih ada keengganan untuk pernikahan 2 etnik sebagai cermin masih adanya prasangka antara 2 etnik yang bersangkutan.
- 7. Kebangkitan Budaya Minoritas Tahun Baru Imlek alias Tahun Baru Cina dijadikan sebagai bagian dari hari libur Republik Indonesia . Era KH Abdurrachman Wahid merupakan penyegaran dan cahaya baru khususnya bagi etnis Tionghoa yang ada di Indonesia , setelah lebih dari 30 tahun tidak diperbolehkan menunjukkan jatidirinya sebagai suatu suku bangsa. Masih segar dalam ingatan, sebelum tahun 1998, apa saja yang berbau Cina dianggap tidak nasionalis, tidak patriotik, dan dalam banyak hal dikait-kaitkan dengan komunisme di RRC.
- 8. Kebangkitan Budaya Minoritas Tapi dengan terbukanya klep ketertutupan ini pasca 1998 , perlahan kebudayaan Cina mulai kembali menunjukkan jatidirinya ditengah masyarakat Indonesia. Bahkan pada awal tahun 2000an salah satu televisi swasta terkemuka ditanah air mulai menayangkan berita berbahasa Mandarin setiap hari dengan durasi setengah jam dan berlangsung hingga kini. Aneka macam budaya Cinapun mulai kembali ditekuni seperti makin maraknya grup Barongsai yang anggotanya bukan hanya dari etnis Tionghoa, melainkan juga dari kalangan pribumi tanpa memandang asal usul dan agamanya (pendek kata kesenian Barongsai sudah menjadi milik bersama), Wushu, Kungfu dan kursus bahasa Mandarin.
- 9. Sebab-sebab timbulnya prasangka dan diskriminasi : Berlatar belakang sejarah Dilatarbelakangi oleh perkembangan sosio kultural dan situasional Bersumber dari faktor kepribadian Barlatar belakang dari perbedaan keyakinan, kepercayaan dan agama
- 10. UPAYA UNTUK MENGURANGI PRASANGKA DAN DISKRIMINASI : Perbaikan kondisi sosial ekonomi Perluasan kesempatan belajar Sikap terbuka dan sikap lapang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar