Ada
beberapa alasan tentang mengapa agama itu sangat penting dalam kehidupan
manusia, antara lain adalah :
- Karena agama merupakan sumber moral
- Karena agama merupakan petunjuk kebenaran
- Karena agama merupakan sumber informasi tentang masalah metafisika.
- Karena agama memberikan bimbingan rohani bagi manusia baik di kala suka, maupun di kala duka.
Manusia
sejak dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan lemah dan tidak berdaya, serta
tidak mengetahui apa-apa sebagaimana firman Allah dalam Q. S. al-Nahl (16) : 78
Allah
mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak tahu apa-apa. Dia
menjadikan untukmu pendengaran, penglihatan dan hati, tetapi sedikit di antara
mereka yang mensyukurinya.
Disinilah
letak fungsi agama dalam kehidupan manusia, yaitu membimbing manusia kejalan
yang baik dan menghindarkan manusia dari kejahatan atau kemungkaran.
Fungsi
Agama Kepada Manusia
Dari segi
pragmatisme, seseorang itu menganut sesuatu agama adalah disebabkan oleh
fungsinya. Bagi kebanyakan orang, agama itu berfungsi untuk menjaga kebahagiaan
hidup.
Fungsi
Sosial Agama
Secara
sosiologis, pengaruh agama bisa dilihat dari dua sisi, yaitu pengaruh yang
bersifat positif atau pengaruh yang menyatukan (integrative factor) dan
pengaruh yang bersifat negatif atau pengaruh yang bersifat destruktif dan
memecah-belah (desintegrative factor).
Pembahasan
tentang fungsi agama disini akan dibatasi pada dua hal yaitu agama sebagai
faktor integratif dan sekaligus disintegratif bagi masyarakat.
Fungsi
Integratif Agama
Peranan
sosial agama sebagai faktor integratif bagi masyarakat berarti peran agama
dalam menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa
masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan
mereka. Hal ini dikarenakan nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban
sosial didukung bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama
menjamin adanya konsensus dalam masyarakat.
Fungsi
Disintegratif Agama.
Meskipun
agama memiliki peranan sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat, dan
memelihara eksistensi suatu masyarakat, pada saat yang sama agama juga dapat
memainkan peranan sebagai kekuatan yang mencerai-beraikan, memecah-belah bahkan
menghancurkan eksistensi suatu masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi dari
begitu kuatnya agama dalam mengikat kelompok pemeluknya sendiri sehingga
seringkali mengabaikan bahkan menyalahkan eksistensi pemeluk agama lain
HIKMAH AGAMA
Tujuan
seorang Rasul diutus kepada umat manusia antara lain untuk mengajarkan Kitab
Suci dan hikmah kepada mereka. Karena cakupan maknanya
yang demikian luas, "hikmah" diterangkan
kedalam berbagai pengertian dan
konsep, diantaranya wisdom atau kewicaksanaan (dari
bahasa Jawa, untuk membedakannya dari kata
"kebijaksanaan"), ilmu pengetahuan, filsafat, malahan "blessing in disguise" (untuk menekankan
segi kerahasiaan hikmah). [6] Mendasari konsep itu ialah kesadaran bahwa
suatu "hikmah" selalu mengandungkemurahan dan rahmat
Ilahi yang maha luas dan mendalam, yang tidak seluruhnya kita mampu menangkapnya. Maka
disebutkan bahwa siapa dikaruniai hikmah, ia sungguh telah mendapatkan kebajikan
yang berlimpah-ruah. [6]
Jika
"hikmah" itu kita hubungkan kembali
pada istilah "muhkam" (kedua kata itu terambil dari akar kata yang
sama, yaitu h-k-m), maka dalam menumbuhkan tradisi
intelektual yang integral dan kreatif berdasarkan
kaidah taqlid dan
ijtihad
itu memerlukan kemampuan menangkap hikmah pesan Ilahi
seperti yang terlembagakan dalam ajaran-ajaran agama. Berkenaan dengan ini, dan
dikaitkan pada keterangan dalam Kitab Suci
tentang adanya ayat-ayat mahkam dan mutasyabih tersebut, menarik sekali kita
mengangkat penafsiran A. Yusuf
Ali atas
makna muhkam itu: [7]
Sesuatu
dari ajaran Kitab Suci yang abadi dan tak terikat oleh
waktu dan ruang (eternal and independent of time and space)
dalam pengertian tentang muhkam itu tidak lain ialah makna, semangat, atau
tujuan universal yang harus ditarik
dari
suatu materi ajaran agama yang bersifat spesifik, atau malah mungkin
ad-hoc. Kadang-kadang makna dan tujuan universal
dibalik suatu ketentuan spesifik itu sekaligus diterangkan
langsung dalam rangkaian firman itu sendiri.
Tapi,
kadang-kadang makna itu harus ditarik melalui proses konseptualisasi atau ideasi
(ideation). Contoh yang pertama ialah firman Ilahi yang mengurus perceraian Zaid
(seorang bekas budak yang dimerdekakan dan diangkat anak oleh Nabi) dari
istrinya, Zainab (seorang wanita bangsawan Quraisy
dengan
status sosial tinggi dan rupawan), dan perceraian itu kemudian diteruskan
dengan dikawinkannya Nabi dengan Zainab oleh Tuhan. Maka terlaksanalah perkawinan seseorang -dalam hal
ini Nabi menikahi bekas isteri anak angkatnya. Namun kejadian
yang bagi orang-orang tertentu terdengar sebagai
skandal
ini justru -katakanlah- dirancang oleh Tuhan untuk suatu maksud yang
mendukung nilai universal yang sejak semula
menjadi klaim ajaran Islam, yaitu nilai sekitar konsep
kealamian (naturalness) yang suci, yakni konsep
fithrah.
Dalam hal ini, anak angkat bukanlah anak alami seperti
anak (biologis) sendiri, sehingga juga tidaklah alami
dan tidak pula wajar jika hubungannya dengan ayah angkatnya
dikenakan ketentuan yang sama dengan anak alami,
termasuk
dalam urusan nikah. Maka, kejadian ad-hoc yang menyangkut
Zaid, Zainab dan Nabi itu langsung diterangkan tujuan
universalnya, yaitu "agar tidak ada halangan bagi kaum beriman
untuk mengawini (bekas) isteri-isteri anak-anak angkat
mereka." [10] Tujuan ini jelas langsung
terkait dengan segi universal yang lebih menyeluruh, yaitu
konsep atau ajaran fithrah, yang mengimplikasikan
bahwa segala sesuatu dalam tatanan hidup manusia ini
hendaknya diatur
dengan
ketentuan yang sealami mungkin sesuai dengan hukum alam (Qadar)
[11] dan hukum sejarah (Sunnat-u 'l-Lah) yang pasti dan
tak berubah-ubah. [12] Pandangan bahwa segala sesuatu
harus sealami mungkin adalah benar-benar sentral namun
menuntut pemahaman mendalam yang disebut sebagai agama
ftthrah yang
hanif.
Itulah
hikmah pesan agama dalam arti yang seluas-luasnya dan secara global. Dalam
arti yang lebih terinci, konsep hikmah agama dinyatakan dalam berbagai ungkapan,
seperti telah menjadi tema dan judul sebuah buku yang
cukup terkenal, Hikmat al-Tasyri' wa Falsafatuhu. [13] Hikmah pesan
agama
ini
juga dikenal dengan istilah lain sebagai
maqashid al-syari'ah (maksud dan tujuan syari'ah). Berkaitan dengan ini
berbagai konsep yang telah mapan dalam pembahasan agamaIslam, khususnya
pembahasan bidang hukum (syari'ah -par
excellence),
seperti konsep sekitar 'illat al-hukm (Latin: ratio legis), yang juga
sering disebut dengan manath al-hukm (sumbu perputaran hukum). Konsep-konsep ini
dibuat berkenaan dengan perlunya menemukan suatu rationale yang
mendasari
penetapan
suatu hukum. Contoh nyata penerapan konsep ini ialah
yang dikenakan pada hukum khamr. Bahwa
rationale diharamkannya minuman keras (alkoholik,
seperti khamar) ialah sifatnya yang memabukkan. Kemudian sifat
memabukkan itu sendiri dihukumnya sebagai tidak
baik, karena ia
mengakibatkan
suatu jenis kerusakan, yaitu kerusakan mental. Dan selanjutnya,
kerusakan mental itu -betapa pun jelas negatif- masih
bisa dilihat rationalenya sehingga ia negatif,
yaitu bahwa ia berarti hilangnya akal sehat yang
menjadi
bagian dari fithrah manusia. Padahal memelihara fithrah
itulah, justru merupakan salah satu ajaran sentral agama Islam.
Sikap hidup Beragama
Komarudin
Hidayat menyebutkan adanya lima tipologi sikap keberagamaan, yakni
“eksklusivisme, inklusivisme, pluralisme, eklektivisme, dan universalisme”.
Kelima tipologi ini tidak berarti masing-masing lepas dan terputus dari yang
lain dan tidak pula permanen, tetapi lebih tepat dikatakan sebagai sebuah
kecenderungan menonjol, mengingat setiap agama maupun sikap keberagamaan
senantiasa memiliki potensi untuk melahirkan kelima sikap di atas.
Sekalipun ada perbedaan
tipe-tipe teologis beragama dengan para penstudi agama lain, seperti Panikkar,
yang menyebutkan tiga tipologi : eksklusif, inklusif, dan paralelisme,
tetapi secara esensial penyebutan-penyebutan tipologis itu mengandung pada
makna dan pengertian yang sama. Oleh karena itu, kita akan membahas tipologi-tipologi
beragama itu.
1.
Eksklusivisme
Sikap eksklusivisme akan
melahirkan pandangan ajaran yang paling benar hanyalah agama yang dipeluknya,
sedangkan agama lain sesat dan wajib dikikis, atau pemeluknya dikonversi, sebab
agama dan penganutnya terkutuk dalam pandangan Tuhan. Sikap ini merupakan
pandangan yang dominan dari zaman ke zaman, dan terus dianut hingga dewasa ini.
Tuntutan kebenaran yang dipeluknya mempunyai ikatan langsung dengan tuntutan
eksklusivitas. Artinya,kalau suatu pernyataan dinyatakan, maka pernyataan lain yang
berlawanan tidak bisa benar.
Bagi agama Kristen, inti
pandangan eksklusivisme adalah bahwa Yesus adalah satu-satu jalan yang sah
untuk keselamatan. “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada
seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yohanes
14:6). Juga, dalam ayat lain (Kisah Para Rasul 4,12) disebutkan, “Dan
keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di
bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang
olehnya kita dapat diselamatkan”.
Menurut Budhy Munawar
Rachman, untuk contoh Islam, sekalipun tidak ada semacam kuasa gereja dalam
agama Kristen, khususnya Katolik yang bisa memberi fatwa menyeluruh seperti
contoh di atas, banyak penafsir sepanjang masa yang menyempitkan Islam pada
pandangan-pandangan eksklusif. Beberapa ayat yang biasa dipakai sebagai
ungkapan eksklusifitas Islam itu antara lain :
Hari ini
orang kafir sudah putus asa untuk mengalahkan agamamu. Janganlah kamu takut
kepada mereka; takutlah kepada-Ku. Hari ini Ku-sempurnakan agamamu bagimu dan
Ku-cukupkan karunia-Ku untukmu dan Ku-pilihkan Islam menjadi agamamu ((Q.S.5:3).
Barangsiapa
menerima agama selain Islam (tunduk kepada Allah) maka tidaklah akan diterima
dan pada hari akhirat ia termasuk golongan yang rugi (Q.S.3:85).
Dalam jargon hidup politik
modern, bersikap hidup seperti itu adalah beragama yang eksklusif atau sikap
hidup yang kafir. Yang tentu saja mengabaikan sikap hidup yang pluralistik
yaitu suatu sikap hidup yang benar, dan oleh sebab itu, juga sikap hidup yang
beriman.
Pada sisi yang lain, sikap
ini menimbulkan kesukaran-kesukaran:
Pertama, sikap ini membawa bahaya yang nyata akan intoleransi, kesombongan, dan
penghinaan bagi yang lain.
Kedua, sikap ini pun mengandung kelemahan intrinsik karena mengandaikan
konsepsi kebenaran yang seolah logis secara murni dan sikap yang tidak kritis
dari kenaifan epistimologis.
2.
Inklusivisme
Sikap inklusivisme
berpandangan bahwa di luar agama yang dipeluknya juga terdapat kebenaran,
meskipun tidak seutuh atau sesempurna agama yang dianutnya. Di sini masih
didapatkan toleransi teologis dan iman. Menurut Nurcholish Madjid, sikap
inklusif adalah yang memandang bahwa agama-agama lain adalah bentuk implisit
agama kita.
Sikap
inklusivitas memuat kualitas keluhuran budi dan kemuliaan tertentu. Anda dapat
mengikuti jalan anda sendiri tanpa perlu mengutuk yang lain. Ibadah anda dapat
menjadi konkrit dan pandangan anda dapat menjadi universal. Tetapi, pada sisi
lain, sikap inklusivitas pun membawa beberapa kesulitan.
Ia menimbulkan bahaya kesombongan, karena hanya andalah yang mempunyai privilese
atas penglihatan yang mencakup semua dan sikap toleran; andalah yang menentukan
bagi yang lain tempat yang harus mereka ambil dalam alam semesta.
3. Pluralisme Atau Paralelisme
Dalam pandangan Panikkar
dan Budhy Munawar Rachman, masing-masing menyebutkan istilah pluralisme
dan paralelisme. Sikap teologis paralelisme adalah bisa
terekspresi dalam macam-macam rumusan, misalnya : “agama-agama lain adalah
jalan yang sama-sama sah untuk mencapai Kebenaran yang Sama”; agama-agama lain
berbicara secara berbeda, tetapi merupakan Kebenaran-kebenaran yang sama sah”;
atau “setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah kebenaran”.
Paradigma itu percaya bahwa
setiap agama mempunyai jalan keselamatan sendiri. Karena itu, klaim
kristianitas bahwa ia adalah satu-satunya jalan (eksklusif), atau yang
melengkapi atau mengisi jalan yang lain (inklusif), harus ditolak demi
alasan-alasan teologis dan fenomenologis.
Sikap paralelistis, pada
sisi yang lain, menjanjikan lebih banyak kemungkinan untuk suatu hipotesis
kerja awal. Sikap ini sekaligus membawa amanat akan pengharapan dan
kesabaran; pengharapan bahwa kita akan berjumpa pada akhirnya, dan kesabaran
karena sementara ini masih harus menanggung perbedaan-perbedaan kita.
4.
Eklektivisme
Eklektivisme adalah suatu sikap keberagamaan yang berusaha memilih dan mempertemukan
berbagai segi ajaran agama yang dipandang baik dan cocok untuk dirinya sehingga
format akhir dari sebuah agama menjadi semacam mosaik yang bersipat eklektik.
5.
Universalisme
Universalisme beranggapan
bahwa pada dasarnya semua agama adalah satu dan sama. Hanya saja, karena faktor
historis-antropologis, agama lalu tampil dalam format plural.
Menurut Raimundo Panikkar,
jika suatu perjumpaan agama terjadi, baik dalam fakta yang nyata maupun dalam
suatu dialog yang disadari, maka orang membutuhkan metafora dasar untuk
mengutarakan masalah-masalah yang berbeda.
Hikmah hidup keberagamaan
haruslah bermuara pada komitmen untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan
tanpa harus dihambat oleh sentimen kelompok keagamaan.
Agama
dalam kehidupan manusia
Pengertian Agama secara
UmumBahasa sanksekerta : a (tidak), gama (kacau)Bahasa barat : religion yang
berakar pada bahasa latin yakni- relegere (membaca ulang)- religere (mengikat
erat-erat)(pengikat kehidupan manusia yang diwariskan secara berulang dari
generasi ke generasi)Soedjadmoko- Suatu jalan menuju keselamatan.Suatu pedoman
dan penilaian atas perbuatan manusia.Suatu petunjuk wahyu yang membawa manusia
menuju suatu kebenaran yang mutlak.
Faktor yang membawa
keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat: 1. Cinta kasih diwujudkan dalam
perbuatan,2. Cinta kasih diwujudkan dalam tutur kata,3. Cinta kasih diwujudkan
dalam pikiran dan pemikiran dan etikad baik terhadap orang lain,4. Memberi
kesempatan yang wajar kepada sesamanya untuk ikut menikmati apa yang diperoleh
secara halal, 5. Didepan umum ataupun pribadi, ia menjalankan kehidupan
bermoral, tidak berbuat sesuatu yang melukai perasaan orang lain, 6. Didepan
umum ataupun pribadi, memiliki pandangan yang sama, yang bersifat membebaskan
dari penderitaan dan membawanya berbuat sesuai dengan pandangan tersebut, hidup
harmonis, tidak bertengkar karena perbedaan pendapat.
Motivasi dan Tujuan Hidup
Beragama1. Penghormatan pada diri sendiri dan orang lain disetiap agama, ajaran
tentang penghormatan pada diri sendiri dan orag lain telah diatur.2. Jalan
menuju kehidupan yang layak agama tidak mengajarkan kepada kaumnya untuk lemah,
baik dalam kehidupan duniawi maupun ukhrowi.
Toleransi Beragama
Dalam beragama
atau Pengakuan adanya kekuatan Yang Maha Tinggi, yaitu Tuhan, Allah, God,
Yahweh, Elohim, yang disertai ketundukan itu, merupakan fitrah (naluri) yang
dimiliki oleh setiap manusia. Kendati demikian, manusia tetap memerlukan adanya
pemberi peringatan agar tidak menyeleweng dari fitrahnya, mereka adalah para
nabi dan rasul.
Perasaan
tunduk kepada Yang Maha Tinggi, yang disebut iman, atau itikad, yang kemudian
berdampak pada adanya rasa suka (rughbah), takut (ruhbah), hormat (ta’dzim) dan
lain-lain, itulah unsur dasar al-din (agama). Al-din (agama) adalah
aturan-aturan atau tata-cara hidup manusia yang dipercayainya bersumber dari
Yang Maha Kuasa untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Kembali
kepada Fitrah Beragama .
Toleransi/toleran
dalam pengertian seperti itu terkadang menjadi sesuatu yang sangat berat bagi
pribadi-pribadi yang belum menyadarinya. Padahal perkara tersebut bukan
mengakibatkan kerugian pribadi, bahkan sebaliknya akan membawa makna besar
dalam kehidupan bersama dalam segala bidang, apalagi dalam domain kehidupan
beragama. Toleran dalam kehidupan beragama menjadi sangat mutlak adanya, dengan
eksisnya berbagai agama samawi maupun agama ardli dalam kehidupan umat manusia
ini.
Dalam
kaitan ini Tuhan telah mengingatkan kepada umat manusia dengan pesan yang
bersifat universal, dalam Q.S. 42 A. 13: “Dia telah mensyariatkan bagi kamu
tentang agama, apa yang telah diwasiatkan kepada Nuh, dan apa yang telah
diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah diwahyukan kepada Ibrahim,
Musa, dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah dalam
urusan agama.”
Pesan
lainnya terkandung dalam Q.S. 3 A. 103: “Dan berpegang teguhlah kamu kepada
agama Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.”
Pesan
universal ini merupakan pesan kepada segenap umat manusia tidak terkecuali,
yang intinya dalam menjalankan agama harus menjauhi perpecahan antarumat
beragama maupun sesama umat beragama. Pesan dari langit ini menghendaki umat
manusia itu memeluk dan menegakkan agama, karena Tuhan sang Pencipta alam
semesta ini telah menciptakan agama-agama untuk umat manusia, kehendak-Nya
hanyalah jangan berpecah-belah dalam beragama maupun atas nama agama.
Jangan Berpecah
Tegakkan agama dan jangan berpecah belah dalam beragama. Perintah ini juga merupakan standar yang bersifat partikularistik, yang ruang lingkupnya berlaku bagi kelompok pemeluk agama tertentu di tempat mereka berada. Dalam menjalankan agama hendaknya menjauhi perpecahan sesama agama, terlebih perpecahan itu dibungkus oleh orientasi motivasional maupun orientasi nilai keagamaan.
Tegakkan agama dan jangan berpecah belah dalam beragama. Perintah ini juga merupakan standar yang bersifat partikularistik, yang ruang lingkupnya berlaku bagi kelompok pemeluk agama tertentu di tempat mereka berada. Dalam menjalankan agama hendaknya menjauhi perpecahan sesama agama, terlebih perpecahan itu dibungkus oleh orientasi motivasional maupun orientasi nilai keagamaan.
Sedangkan
elemen lainnya adalah orientasi nilai. Orientasi ini menunjuk kepada
standar-standar normatif yang mempengaruhi dan mengendalikan pilihan-pilihan
individu terhadap tujuan yang dicapai dan alat yang dipergunakan untuk mencapai
tujuan itu.
Toleransi
sebagai Nilai dan Norma
Toleransi
dalam pengertian yang telah disampaikan, yang merupakan keyakinan pokok
(akidah) dalam beragama, dapat kita jadikan sebagai nilai dan norma. Kita
katakan sebagai nilai karena toleransi merupakan gambaran mengenai apa yang
kita inginkan, yang pantas, yang berharga, yang dapat mempengaruhi perilaku
sosial dari orang yang memiliki nilai itu.
Hidup
beragama yang toleran sekaligus menjadi sikap dasar dalam kehidupan sosial
masyarakat, yang selalu disosialisasikan dalam tingkat rumah tangga, merupakan
sosialisasi primer, dan sosialisasi sekunder terjadi sesudah sosialisasi primer
itu terjadi. Dan sesungguhnya sosialisasi primer itu merupakan dasar bagi
sosialisasi sekunder. Jika yang berperan dalam sosialisasi primer adalah
seluruh keluarga dalam rumah tangga, maka yang berperan dalam sosialisasi
sekunder adalah luar rumah tangga, yang dalam kehidupan sekarang ini adalah
arena pembelajaran sekolah.
Toleran
dan Prinsip Hidup
Berinteraksi
dengan jiwa toleran dalam setiap bentuk aktivitas, tidak harus membuang prinsip
hidup (beragama) yang kita yakini. Kehidupan yang toleran justru akan
menguatkan prinsip hidup (keagamaan) yang kita yakini. Segalanya menjadi jelas
dan tegas tatkala kita meletakkan sikap mengerti dan memahami terhadap apapun
yang nyata berbeda dengan prinsip yang kita yakini. Kita bebas dengan keyakinan
kita, sedangkan pihak yang berbeda (yang memusuhi sekalipun) kita bebaskan
terhadap sikap dan keyakinannya.
Perkembangan
Agama Dunia Kini dan Mendatang
Jika umat
manusia dengan agamanya, kemudian mengembangkannya, itu sudah menjadi fitrah
manusia. Sebab semua orang beragama merasa wajib untuk mengembangkan dan
menyampaikan keyakinannya kepada siapapun di dunia ini. Di sinilah letaknya
sebuah toleransi, siapapun umat beragama bebas untuk mendakwahkan agamanya dan
siapapun manusia bebas menerima maupun menolak ajakan itu. Rambu-rambu untuk
itu dalam tatanan hidup antarbangsa dan agama telah dimiliki oleh umat dan
bangsa sedunia. Sikap toleran akan dapat meminimalkan segala konsekuensi
negatif penyebaran agama.
Posisi
Umat Islam Bangsa Indonesia
Dalam
menegakkan kehidupan keagamaan yang toleran dan damai di muka bumi ini peranan
Muslim Asia dimotori oleh Indonesia, mestinya dapat lebih mewarnai Dunia Islam
kontemporer. Berbagai syarat untuk itu ada dalam lingkungan wilayah ini baik
berupa bahasa, budaya dan adat kebiasaan yang dimiliki oleh Muslim di wilayah
ini.
Pengembangan
dan pembentukan diri bagi Muslim di wilayah ini tidak lagi harus tergantung
pada wilayah tempat asal mula munculnya agama Islam (Timur Tengah). Kemampuan
untuk berkembang membentuk diri untuk tampil sebagai umat beragama yang toleran
dapat ditunjang oleh kemampuan Muslim di wilayah ini, sejalan dengan
perkembangan peradaban umat manusia yang semakin maju yang dapat diakses oleh
setiap Muslim di Asia Tenggara, khususnya Indonesia.
Untuk
menuju ke arah itu, kita sebagai masyarakat/kelompok sosial ini harus
menanamkan visi pada diri kita masing-masing, kiranya dengan aktivitas yang
selama ini kita tekuni sebagai masyarakat terus bergerak ke arah
kehidupan beragama atau kegiatan lainnya selalu mengedepankan sikap toleran.
Ini maknanya, lingkungan kita ini harus sangup menjadi wahana pengkaderan
bangsa dan umat yang orientasinya adalah terciptanya sikap toleran dalam
kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara.